Rabu, 22 Juni 2011

Ada kekuatan yg tdk dimengerti dari PENCAPAIAN PUNCAK GUNUNG

Ada kekuatan yg tdk dimengerti dr PENCAPAIAN PUNCAK GUNUNG
satu hal pelajaran berarti yg saya mengerti dr naik gunung pemahaman tentang NIAT & TEKAT
banyak pendakian gagal mengapai puncak bkn krn kekurangan bekal (fisik,mkn&peralatan)tp dibutuhkan keinginan dan tekat yg kuat yg akan membawa kita mencapainya....itu sudah puluhan x saya lakukan...dan pemahaman itu saya alokasikan dlm pencapaian impian hidup luar biasa....

sesuatu yg ngk mungkin bs mjd mungkin....dgn tekat dan semangat mengapai puncak..(impian)dan itu hanya bs dirasakan bagi mereka yg pernah mendaki gunung dan mencapai puncaknya saja...

cobalah berpikir dan menginggat perjalanan kepuncak gunung bukan sesuatu yg biasa...banyak pelajaran yg bs kita ambil dan kita terapkan dlm kehidupan..saat kita mengalami tingkat lelah yg luar biasa dan tdk ada fasilitas instan dunia disekitar kita ,disana muncul sifat asli manusa...emosi tdk setabil,arogan,ego,individualisme,dan sebaliknya akan berbeda dgn org2 yg telah terbiasa belajar dgn keadaan itu...muncul jiwa kemanusiawianya...lbh sabar,tenang,peduli dgn sekitar,kebersamaan....dll...

sering kali ada pertanyaan Apa enaknya/asiknya naik gunung...dgn resiko capek bahkan bertaruh nyawa....?

sama halnya kita hobi sepak bola, berebut 1 bola hanya untuk memasukan ke gawang lawan..... ada kebanggaan dan perasaan yg tdk bs diungkapkan dgn kata2....hanya bs dirasakan... dan resikonya jauh lbh berbahaya kita naik motor dijalan raya....pada dasarnya setiap saat dimana saja Nyawa kita bs melayang...

Tawaran kemewahan dunia tdk kita butuhkan disana perjuangan hidup dan mati....pencapaian puncak adrenalin mencapai klimaks....disitulah kita bs memahami kehidupan dan puncak kebahagiaan sesungguhnya....kematian bkn ancaman...

seorang pecinta alam akan senang bs bersatu dgn Alam begitu jg dgn kematian bersatu kembali dgn alam....

Kamis, 16 Juni 2011

Cara Yang Benar Untuk Turun Gunung

Menuruni gunung, kegiatan yang mau tak mau harus di lakukan, karena tak mungkin kita main lompat dari puncak gunung. Dan perhatian khusus perlu di berikan, karena saat turun gunung kita sudah di landa lelah setelah berjalan mendaki. Turun dalam keadaan lelah dan membawa tas punggung merupakan masalah tersendiri, karena seluruh berat badan otomatis akan mendorong kebawah, sehingga kaki mendapatkan beban tambahan. Otot kaki bekerja lebih berat, karenanya kemungkinan tergelincir, terguling, atau bahkan sampai terkilir.


Makin panjang lereng gunung yang dituruni, makin cepat kita terseret kebawah, segera mengambil tindakan untuk menghentikannya, yaitu dengan mendaratkan kaki dibatu yang menonjol atau menancapkan tumit kaki ke tanah yang gembur atau berpasir. Jangan berjalan turun dengan badan doyong ke depan, sehingga menyebabkan berat tubuh tidak sepenuhnya di atas kaki, jagalah agar berat tubuh itu tetap di atas kedua kaki.

Sebelum turun, ikatlah tali sepatu lebih kencang daripada biasanya. Tekanan berat badan ke depan pada waktu turun akan menyakitkan jari - jari kaki yang terdorong dan tertekuk di ujung sepatu, terutama apabila sepatu yang dipakai kurang cocok ( pinjaman ). Mengikat tali sepatu dengan kencang akan membantu agar telapak kaki tidak mudah bergeser dan membuat jari - jari kaki tertekuk.

Turun di lereng berpasir akan terasa menyenangkan bila kita melakukan gerakan merosot dengan menggunakan gelinciran telapak sepatu. Untuk menghentikan gerakan merosot terlalu jauh, jejakkanlah tumit sepatu sedalam - dalamnya ditanah berpasir itu pada saat yang diperlukan. Tehnik ini bisa menyebabkan sepatu kita kemasukkan pasir dan kerikil. Pakailah Gaiter untuk mencegahnya. Jangan keluar dari lintasan yang sudah ada, lebih - lebih memotong jalan setapak sehingga harus menuruni tebing yang curam.

Kalau terpaksa keluar dari lintasan yang ada, selalu berjalanlah diatas punggung - punggung gunung. Hindari jalan di ceruk - ceruk atau mengikuti sungai - sungai di bawah punggungan gunung. Sungai memang tampaknya menunjuk arah yang gampang di lalui untuk menuju ke bawah, tetapi mengikutinya berbahaya sekali. Sungai - sungai di gunung sering kali berupa tebing - tebing curam dan membentuk air terjun, sehingga sukar dituruni tanpa alat - alat khusus. Banyak kecelakaan yang di buat seorang pendaki pemula karena kesalahan mengikuti sungai di gunung. Jalan setapak yang tak jelas disebabkan karena sering kurang dilalui, biasanya merupakan lintasan penebang - penebang kayu. Kalau akhirnya anda terjebak dan kehilangan jalan setapak, pilihlah lintasan dengan prinsip tetap di atas punggungan gunung, bukan berjalan di ceruk - ceruk atau mengikuti aliran sungai.

Berhati - hatilah melewati daerah kawah dan sekitarnya, karena tidak jarang sering di jumpai gas beracun. Perhatikan apakah lintasan yang dilalui merupakan daerah yang gersang dan tak di jumpai tumbuhan apapun, bisa jadi itu pertanda ada gas beracun. Kalau kepala anda terasa pusing - pusing, segera hindari dan carilah tempat yang berudara segar untuk mengembalikan keadaan.

” Banyak orang awam mengira, bahwa meneguk minuman keras merupakan cara yang baik untuk menghangatkan tubuh. Dugaan ini salah sekali, sebab minuman keras menyebabkan pembuluh darah kulit mengembang, sehingga membuat udara dingin dapat peluang untuk masuk ke dalam tubuh. Lagi pula, meneguk minuman keras dapat menyebabkan mabuk, sehingga tentunya tak baik bagi pejalan - pejalan kaki di gunung.”

Gunung - gunung yang sering di daki mempunyai jalan setapak yang jelas kelihatan. Apa bila anda melihat beberapa jalan setapak pada suatu lintasan, segera memutuskan untuk mengikuti jalan setapak yang paling jelas kelihatan atau bila terlihat banyak sampah di sepanjang lintasan itulah jalan setapaknya. Seorang Pendaki asal Perancis menuliskan kata - kata berupa sindiran kepada Pendaki Gunung Indonesia, kata - kata itu dituliskan pada sebuah buku tamu di pos pendakian Gunung Rinjani, Lombok. NTB.

Cara Mendaki Gunung Secara Tradisioanal

Pendakian tradisional atau trad climbing, adalah pendakian yang tanpa peralatan canggih dengan harga mahal, hanya mengandalkan peralatan seadanya. Tetapi juga harus melihat medan dan lokasi pendakian yang di tuju jika melakukan pendakian dengan type tradisional, karena keselamatan pribadi jauh lebih berharga di bandingkan alat - alat pendakian yang harganya tentu tak murah.

Metode pendakian tradisional juga adalah pengalaman awal pendakian yang aku dan Belantara Indonesia lakukan. Mengapa menjadi menerapkan trad climbing / mountaineering? Karena memang keadaan! Hendak dan ingin menggunakan alat - alat pendakian, harga tak terjangkau dan belum mungkin kami adakan. Apa daya? Pendakian ala kadarnya kami lakukan. Biasanya pendakian dengan metode ini hanya beralatkan alat pendakian dasar, yakni tas carrier, sepatu gunung atau sandal gunung, topi rimba, senter badai, jaket dan rain coat, matras juga tenda, tanpa alat untuk menunjang keselamatan mutlak seperti Harness, tali, head lamp dan lain - lain. Bahkan tabung oksigen pun bisa dikesampingkan, karena type gunung di Indonesia tak seperti gunung - gunung lain di luar negeri.

Tetapi ini menjadi kebanggaan tersendiri bagi pendaki gunung sebagian, karena mencoba menjelajah alam dan rimba tanpa harus manja di topang peralatan yang pastinya mendukung keselamatan dengan mutlak. Ini persis dengan yang di lakukan Si Dewa Gunung, Reinhold Messner yang melakukan pendakian dengan gaya pendakian tradisional. Pendakian tradisional pertama kali di kenal di kawasan Alpen, Eropa. Prinsipnya, dalam pendakian ini seorang pendaki hanya berbekal peralatan secukupnya dan melakukan pendakian ala kebut gunung.

Juga Araceli Segarra, pendaki wanita rupawan asal Spanyol, juga punya prinsip serupa. Araceli tidak percaya dengan tali / rope, tabung oksigen, ataupun porter. Ia punya prinsip bila tidak bisa meneruskan pendakian ke puncak dengan sukses, ia memilih untuk pulang dan mencoba di lain waktu. Ia memilih melakukan pendakian gaya tradisional tanpa peralatan yang canggih dan lengkap, dari pada sampai ke puncak dengan mudah tanpa tantangan.

Tetapi semua juga berdasar pengalaman dan pengenalan medan gunung yang baik jika memang hendak melakukan Radical Mountaineering, karena alam tak bisa kita tipu dengan akal bulus demi keselamatan pribadi jika memang alam sedang tak ramah. Kenali medan dahulu baru kita persiapkan alat sederhana dalam pendakian. Dan kebalikannya, mendaki gunung yang tak terlalu sulit, seperti Gunung Telomoyo , kita menyibukkan diri membawa Rope, pasak, paku tebing, harness, dll akan terasa berlebihan dan akan terlihat lucu, karena gunung Telomoyo bisa kita capai puncaknya dengan kendaraan!

Pada intinya, cobalah masuki alam dengan kemampuan diri, bukan karena hanya sekedar ikut - ikutan. Bangga bukan jika kita mampu selamat dan mencapai puncak gunung dengan perjuangan sendiri? Tanpa mengesampingkan alat keselamatan, tetapi raga kita juga mempunyai cara menyelamatkan diri dalam bahaya di alam, yakni waspada dan tak meremehkan.

KETIKA TERSESAT DI GUNUNG

kenapa banyak Pecinta Alam tersesat di Gunung ?? ini ada sedikit kopasan dari Dokter Cico seorang Dokter sekaligus Pecinta Alam Sejati di Indonesia


Ketika tersesat di Gunung..
Dokter ahli bedah mayat yang akrab dipanggil dokter Cicoini
berpendapat, mi instan sangat cepat menarik cairan tubuh. Padahal,
pendaki gunung harus mengirit air yang ada di dalam tubuhnya
masing-masing. Akibat kekurangan cairan, pendaki kerap menjadi
kehilangan cara berpikir dan salah mengambil keputusan hingga
menyebabkan pendaki-pendaki tersesat.
"Produk mi instan memang tidak salah, tetapi manusia dalam hal ini
pendaki gunung sendirilah yang salah memanfaatkannya. Kalau sekadar
camping beberapa hari, mi instan memang sangat praktis untuk
mencegah lapar. Tetapi, bukan untuk bekal naik gunung yang bisa
memakan waktu berhari-hari," jelas Cico, yang sejak tahun 1990
menjadi dosen Fakultas Kedokteran bidang Forensik UKI Jakarta.


Karena asyiknya bergelut dengan masalah kecelakaan gunung ini,
dokter yang masih lajang kelahiran Jakarta ini mengatakan, siapa
pun akan mengakui bahwa tim Search and Rescue (SAR) Indonesia punya
kemampuan menemukan korban-korban di gunung, baik yang masih hidup
maupun yang tewas. Namun, setelah korban ditemukan, mereka bingung
menghadapi korban ini. Bahkan, luka-luka pun sering diabaikan.

KEPADA para pendaki Indonesia, Cico yang baru saja merampungkan
pelatihan di Miami, Amerika Serikat, untuk membuat standardisasi
pertolongan pertama kecelakaan gunung ini kerap mengingatkan, jika
tersesat di gunung, yang dibutuhkan bukan hanya makanan, tetapi
juga ketenangan, pertimbangkan stamina, dan berpikir jernih.

Cico menjelaskan, kita boleh nyasar, sebab dengan tersesat akan
menambah pengalaman. Lalu, menembus jalan sesat itu harus
dilakukan, sebab kita mempunyai pengetahuan dan keterampilan.
Namun, mati jangan sampai, sebelum kita memanfaatkan akal
pengetahuan dan keterampilan kita.

"Jadi, begitu hilang, pendaki gunung seharusnya memiliki tekad
dasar berupa kemauan untuk hidup, bukan sekadar tekad bagaimana
meloloskan diri dari lubang ketersesatan,"
 ujarnya.

Ia mencatat, hampir 80 persen pencinta alam mati di gunung dalam
posisi istirahat. Karena sewaktu lelah, pendaki itu tidur dengan
badan yang tidak terisolasi dan cuaca sekeliling lebih rendah.
Akhirnya, cuaca itu mempengaruhi suhu tubuh hingga menyebabkan
tingkat kesadaran menurun drastis. Lalu, beristirahat selamanya.Mati.

Kelemahan pendaki gunung Indonesia adalah sikap kurang koreksi diri
terhadap kecelakaan sekecil apa pun. Mereka sering memandang diri
sebagai orang kuat. Contoh paling gampang, kalau kita bermain di air.
Sejago apa pun kita berenang, alat pelindung tetap harus
digunakan. Begitu pula pendaki yang kerap naik-turun gunung.
"Matinya sepele, akibat lelah, dia nyasar sampai kedinginan,"ujar
pengamat kecelakaan gunung ini. Model yang kerap dipakai, jelasnya,
adalah jika cedera, kita masih mengatakan untung tidak mati.

SEKITAR 90 persen, kata Cico, kecelakaan gunung itu disebabkan oleh
kurangnya sikap antisipasi pendaki. Sebagai kaum muda, kita sulit
membedakan antara antusiasme dan keselamatan. Kedua faktor ini
memiliki garis tipis sekali. Antusias berarti keinginan melakukan
kegiatan di alam bebas, tanpa memperhatikan lagi faktor
keselamatan. Sedangkan, keselamatan jiwa yang seharusnya
diperjuangkan dalam kegiatan pendakian justru dianggap remeh.

Hal itu pun dialaminya sendiri, ketika Cico dinyatakan hilang
sedikitnya tiga kali berturut-turut di gunung yang berbeda di Jawa
Tengah. "Setahun sekali hilang," ujar Cico, yang baru saja
mengadakan studi banding di negara-negara ASEAN.

Tahun 1977Cico dinyatakan hilang di Gunung Ungaran. Gara-gara
ingin mencari air untuk menolong teman-temannya, Cico yang waktu
itu juga sudah merasa lelah, tiba-tiba terpeleset hingga terperosok
ke jurang. "Untung, waktu itu nyangsang di pepohonan, meskipun
sempat tidak sadarkan diri," kenang Cico, begitu sadar dan
beristirahat sebentar, Cico berhasil menemukan senternya. Kemudian,
dia ingat teori pendakian yang diajarkan di kampus. Ia tidak lekas
turun, melainkan kembali mendaki untuk mencari tanah lapang agar
mudah memperoleh orientasi langkah selanjutnya. Kemudian, nyala
lampu senternya "dimainkan" untuk menunjukkan kepada penduduk
sekitar bahwa dirinya butuh pertolongan.

Lagi-lagi dia beruntung. Sewaktu mengirim sinyal lampu senter,
rombongan Pramuka mampu membacanya dan segera memberikan
pertolongan. "Maka selamatlah saya," ujarnya.

Pada tahun 1978, Cico pun hilang selama lima hari diGunung
Sumbing
. Waktu itu, Cico bersama kawan-kawannya naik dari daerah
Garum dan berencana turun melalui Bangsri. Sebagai pemula, ia
mengakui, kehilangannya itu akibat ulahnya sendiri. Ia tersesat
sendirian ketika hendak menyusul kawan-kawannya yang sudah mendaki
lebih dulu.

Karena sendirian, kata Cico, bekal makanan diirit-irit dalam
pendakian itu. "Saya hanya makan pakis, umbi-umbian, dan akar
alang-alang
Minumnya, saya menggunakan kain kasa steril dan sapu
tangan yang sudah diletakkan di atas rerumputa
n," jelas Cico.
Namun, ia tak lupa meninggalkan tanda-tanda dengan menggunakan batu
atau tumbuh-tumbuhan setiap melalui jalan pendakian itu.
Harapannya, ada tim SAR atau orang yang tetap mencarinya.

Tahun berikutnya, Cico hilang di Gunung Ciremai selama tiga hari
tiga malam. Waktu itu, Cico mendaki bersama empat kawannya. Usai
pendakian, mereka tersesat. Cico mengingatkan, sebaiknya kita
kembali naik, agar bisa memiliki orientasi lapangan. "Tetapi,
teman-teman saya bilang, ah... tanggung, kita jalan turun terus
saja. Jalan menurun itu pasti ke desa
," kata Cico menirukan omongan
teman-temannya.

Ternyata, betul dugaan Cico. Jalan menurun belum tentu menuju desa,
tetapi justru menyebabkan kita terjebak di lembah. Mereka tersesat
di lembah tak berujung yang sulit untuk melakukan orientasi.

Karena sudah larut malam, mereka pun akhirnya mendekam di lembah
itu. Pagi harinya, mereka kembali mendaki untuk mencari dataran
tinggi. Dari sanalah, Cico melihat petak sawah yang tentu
mengindikasikan adanya kehidupan. Lalu, ia mengukur dengan kompas
dan alat pengukur ketinggian seadanya, barulah melangkah.

Hingga kini, Cico merasa prihatin, karena dokter-dokter yang
memiliki panggilan pertolongan pertama atas kecelakaan di gunung
sangat sedikit. Andaikan ada kadernya, itu pun kebanyakan wanita.
Ketika dokter wanita itu mulai berkeluarga, sayangnya mereka
menghentikan panggilan sebagai dokter kecelakaan gunung ini.
Cico berharap, dokter-dokter Indonesia sekali-kali turun kelapangan seperti begini.

SUMBER

Sekedar Tambahan ketika tersesat di Gunung atau di Hutan Belantara :

jika kita terjebak dan tersesat di hutan yang mengharuskan kita melakukan tindakan survival.
ada 4 hal yangperlu dingat yaitu STOP, singkatan dari :

1. Sit (duduk)

Jika kita menyadari diri kita tersesat dalam suatu perjalanan, hal yang
perlu kita lakukan pertama kali adalah duduk tenang atau bahasa yunani-nya
selonjoran, hehehe.

2. Thinking (berfikir)
Setelah kita duduk tenang, kita mulai berfikir, faktor apa yang
menyebabkan kita tersesat, selain itu ada pepatah yang terkenal di keluarga
gw. "Know Your Enemy" atau kenali musuhmu. di fase ini kita dituntut
setenang mungkin, dan mencoba memutar kilas balik peristiwa-peristiwa yang menyebabkan kita tersesat.

3. Observation (observasi)
Setelah berfikir, kita melakukan apa yang disebut dengan observasi. Dalam
fase ini ada 6 Komponen yang harus kita perhatikan dengan seksama yaitu :
Air, Makanan, Shelter, Api, Keadaan alam sekitar, dan keadaan cuaca. Dengan
melakukan observasi atau pengamatan terhadap 6 komponen tersebut, akan
berguna kelak dalam menentukan fase selanjutnya yaitu planning.

4. Planning (perencanaan)

Pada fase terakhir ini, setelah kita melakukan observasi terhadap keadaan
diri kita dan lingkungan sekitar. kita menentukan perencanaan langkah apa
yang harus kita lakukan. Apakah kita hanya berdiam diri di tempat tersebut
menunggu bantuan dari team SAR, atau kita berjalan mencari sumber
pertolongan. Semua perencanaan tersebut harus dibuat sematang mungkin,
keadaan kesehatan diri kita merupakan hal yang vital dalam menentukan
perencanaan tersebut.

Sorry Kalau Repost,ane hanya Berbagi dan Mengingatkan z untuk tetap persiapkan diri sebelum menikmati Gunung yg kita tuju..Semoga Bermanfaat

Puisi Perpisahan Sebelum Maut Di Puncak Gunung Semeru


Idhan Dhanvantari Lubis adalah juga legenda serta tokoh pendakian yang mana kala itu meninggal di Puncak Semeru bersama Soe Hoek Gie pada tanggal 16 Desember 1969. Selama ini, memang tentang dia jarang terlihat di bicarakan dikalangan pendaki gunung, karena ketokohan Soe Hoek Gieyang terlanjur sangat melegenda. Tetapi syukurlah, Idhan Lubis tak terlupakan begitu saja.

Idhan Lubis anak kedua dari pasangan Bachtar Lubis dan Kusrahaeni, dengan kakak kandung Idhat Lubis dan dua orang adik Piet Bachtari Lubis dan Poeng Wiyata Indra Lubis dan juga keponakan dari seorang jurnalis dan pengarang terkenal di Indonesia yaitu Mochtar Lubis.

MENGAPA MENUJU SEMERU?

Sebuah kisah dari legenda Mahabarata, yaitu saat perangBharatayuda, dimana Pandawa Lima pulang ke Surga melalui Arcopodo sebuah gerbang yang dikawal Dewa Kembar, pintu masuk surga dilangit Mahameru. Arcopodo sendiri adalah nama salah satu lokasi yang berada di gunung Semeru, lokasi untuk menuju puncak Mahameru. Idhan Lubis sangat paham benar dengan legenda Mahabarata itu. Oleh karena itu Almarhum mempunyai target untuk mendaki gunung tersebut. Di pertengahan tahun 1968 Idhan bersahabat dengan Herman O. Lantang seorang anggota Mapala Universitas Indonesia. Dengan Herman itulah Idhan diajak untuk mendaki gunung Semeru bersama - sama dengan anggota Mapala UI. Saat pendakian itu Idhan baru berusia 20 tahun dan masih menjadi mahasiswa di Universitas Tarumanegara.

PUISI PERPISAHAN MENJELANG MAUT DI SEMERU

Idhan Dhanvantari Lubis, pemuda tampan yang tenang dan serius itu seakan - akan telah mempunyai firasat akan ajalnya yang sudah dekat. Sebelum melakukan perjalanan mendaki puncak gunung Semeru, almarhum Idhan Lubis pergi ke Bandung. Selain mengucapkan ” Selamat Lebaran ”, Idhan Lubis juga minta diri, menyampaikan salam ’berpamitan’kepada semua keluarganya di Bandung itu. Hal semacam itu tak pernah dilakukan Idhan sebelumnya, bahkan orangtua Idhan biasanya jarang diberitahukan bila akan mendaki gunung. Hari - hari menjelang keberangkatan ke Jawa Timur tanggal 13 Desember, jalan telah dipenuhi ’isyarat - isyarat’Idhan tentang Puncak Arcopodo Semeru tersebut. Sampai - sampai dalam tidur pun, Idhan mengigau tentang gunung Semeru. Idhan menyebut ’Rocopodo’ suatu nama tempat di puncak gunung Semeru itu dalam mimpinya. Hal ini didengar oleh saudaranya suatu malam dengan keheranan. Sehari - hari, Idhan tak hentinya menulis - nulis dan mencoret nama’Mahameru’’puncak Semeru’, dan sebagainya dimana saja ada kesempatan.

Pada suatu petang tanggal 8 Desember 1969 di rumahnya di Polonia, Idhan Lubis menulis sebuah sajak yang ditujukan kepada sahabatnya Herman O Lantang. Puisi Idhan Lubis yang ditulisnya delapan hari sebelum meninggal dunia itu berjudul ”Djika Berpisah”, yang selengkapnya sbb:

Pro: Herman O. Lantang
Djika Berpisah

Di sini kita bertemu, satu irama
di antara wadjah2 perkasa...
tergores duka dan nestapa,
tiada putus asa
tudjuan esa puntjak mendjulang di sana


Bersama djatuh dan bangun
di bawah langit biru pusaka...
antara dua samudra...
Bersama harapanku djuga kau
satu nafas
kita jang terhempas
pengabdian... dan... kebebasan...


Bila kita berpisah
kemana kau aku tak tahu sahabat
atau turuti kelok2 djalan
atau tinggalkan kota penuh merah flamboyan
hanja bila kau lupa
ingat...


Pernah aku dan kau
sama - sama daki gunung - gunung tinggi
hampir kaki kita patah - patah
nafas kita putus - putus
tudjuan esa, tudjuan satu:
Pengabdian dan pengabdian kepada....
...Jang Maha Kuasa ...

Dari : Idhan Lubis
Polonia, 8 Desember 1969.

” Soe dan Idhan sungguh sudah tiada, di tanah tertinggi di Pulau Jawa. Mereka jumpai jasad kedua tersebut sudah kaku. Semalam suntuk mereka lelap berkasur pasir dan batu kecil Gunung Semeru. Badannya yang dingin, sudah semalaman rebah berselimut kabut malam dan halimun pagi. Mata Soe dan Idhan terkatup kencang serapat katupan bibir birunya. Mereka semua diam dan sedih. ”

Idhan Lubis dan Soe Hoek Gie menemui ajalnya pada 16 Desember 1969 di puncak Gunung Semeru akibat menghirupgas beracun.

Puisi Soe Hok Gie Untuk Mandalawangi



Soe Hoek Gie, sosok petualang Indonesia yang melegenda dan banyak di jadikan tutorial alam tak langsung bagi para penggiat alam bebas dan penempuh rimba dimanapun berada. Dan ada sebuah puisi atau sajak yang di tulis Soe Hoek Gie tentang keindahan dan kecintaan seorang Gie terhadap sebuah lembah yang berada di dekat puncak Pangrango, Mandalawangi. Dimana ia senang menyendiri disana, merenung dan menghilangkan penat. Soe Hoek Gie meninggal di puncak Mahameru pada usia 27 tahun kurang sehari. 16 Desember 1969. Meninggal di malam sebelum ulangtahunnya, karena menghirup gas beracun kawah Jonggring Saloka, bersama seorang teman, Idhan Lubis. Mati muda di saat ia begitu produktif menulis dan aktif mengkritik kebijakan - kebijakan pemerintah.


Puisi Soe Hoek Gie tentang Mandalawangi

Sendja ini, ketika matahari turun
ke dalam djurang - djurangmu
aku datang kembali
ke dalam ribaanmu, dalam sepimu
dan dalam dinginmu

walaupun setiap orang berbitjara
tentang manfaat dan guna
aku bitjara padamu tentang tjinta dan keindahan
seperti kau terima daku

aku tjinta padamu, Pangrango jang dingin dan sepi
sungaimu adalah njanjian keabadian tentang tiada
hutanmu adalah misteri segala
tjintamu dan tjintaku adalah kebisuan semesta

malam itu ketika dingin dan kebisuan
menjelimuti Mandalawangi
Kau datang kembali
dan bitjara padaku tentang kehampaan semua

"hidup adalah soal keberanian,
menghadapi jang tanda tanja
tanpa kita bisa mengerti, tanpa kita bisa menawar
terimalah dan hadapilah"

dan antara ransel - ransel kosong
dan api unggun jang membara
aku terima itu semua
melampaui batas2 hutanmu,
melampaui batas2 djurangmu
aku tjinta padamu Pangrango
karena aku tjinta pada keberanian hidup

Aku tidak tahu banyak tentang peristiwa kala itu, bagaimana Gie bisa sebegitu terkenalnya, dicintai dan dibenci, dicari dan dicaci. Buku ini tidak banyak membahas tentang itu, lagipula aku tidak tertarik bagian politik - politikan. Yang aku tahu, Soe Hok Gie seorang pemuda berperawakan kurus bermata sipit ras Tionghoa, yang banyak menulis dan berkomentar masalah politik, atau aktif berdemonstrasi, tetapi memilih tidak terjun ke dalam dunia politik praktis, dan lebih memilih untuk sering mendaki gunung dan bergabung dengan alam. Karena menurutnya, untuk menimbulkan jiwa patriotisme dalam jiwa pemuda Indonesia, salah satunya adalah dengan cara mendaki gunung. Kecintaan pemuda akan tanah air akan tumbuh karena 'mengunjungi' alam.

Rasa semangat dan perasaan menggebu untuk cepat sampai ke puncak ketika mendaki gunung akan selalu menemani perjalanan yang sebenarnya sangat berat. Mendaki dengan menenteng carrier berpuluh kilogram, fisik yang menurun karena kurang asupan makanan dan minum, terkadang terlalu lemah hingga berhalusinasi, tetapi semua kesusahan itu terbayar ketika aku bisa berada di atas awan, atau sekedar memandang langit biru yang nampak di sela pepohonan pinus yang hijau dan jalan setapak yang terasa begitu mengundang untuk terus ditelusuri.

Sosok Soe Hoek Gie dengan gambaran akan sosoknya yang begitu cerdas, intelek, supel, kritis, terbuka, sederhana. Gie yang suka menonton film gratis berbahasa asing di kedutaan, berdiskusi dan membaca buku, menulis artikel - artikel di kamarnya yang suram, dan dikenal dekat dengan gadis - gadis manis FS - UI walaupun ia tak pernah berani menyatakan cinta. Aku membaca tentang surat - surat Kartini Sjahrir, seorang wanita yang pernah dekat dengannya di masa kuliah, bagaimana Gie ternyata sosok yang begitu menghormati dan mengayomi teman - teman wanitanya. Bagaimana Gie begitu lembut memperlakukan mereka. Inilah yang membuatku tertarik, kecuali tentang dunia politik yang dekat dengannya.

Tentang sosok Soe Hok Gie yang hebat dan disegani, yang sangat disayangkan mati muda. Gie dan Idhan adalah dua orang pertama yang meninggal di puncak Semeru, dimana ketika disemayamkan, Menteri Perdagangan kala itu, Sumitro Djojohadikusumo bahkan menyempatkan hadir, menandakan bahwa Gie punya begitu banyak teman dari berbagai kalangan, bahkan sampai para petinggi - petinggi pemerintahan.

Pada tahun 1975, jenazah Soe Hok Gie diperabukan, dan abunya disebarkan di Mandalawangi Pangrango, tempat yang begitu ia cintai seperti tergambar di sajak awal tulisan ini. Soe Hok Gie hilang di Pangrango, tetapi semangat dan ambisinya memperjuangkan keadilan akan selalu hidup di jiwa generasi - generasi penerusnya, para pemuda - pemudi Indonesia yang melek akan segala peristiwa, memperjuangkan idealisme dan'jalan lurus' seperti yang diperjuangkan beliau.